Tukang Sapu Masjid Bukan Orang Hina
Tulisan ini hanyalah catatan ringan. Membahas bagian kecil dari bab kehormatan masjid. Cukup beberapa paragraf ringan sebagai pengingat untuk kita. Tentang suatu pekerjaan yang seringkali dianggap hina di mata orang.
Apa itu?
Tukang sapu masjid.
Iya, tukang sapu masjid, pekerjaan yang sering dipandang sebelah mata ini teenyata amalan yang mulia dan luhur. Pemilihan kata “tukang sapu” bukan bermaksud membatasi makna. Namun segala pekerjaan membersihkan masjid, seperti mengepel, mencabut rerumputan liar di halaman masjid dan yang sejenisnya, semua itu masuk dalam cakupan pembahasan ini.
Sebenarnya sudahlah cukup sebagai bukti, bahwa membersihkan masjid adalah amalan yang agung adalah sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam,
أَحَبُّ الْبِلَادِ إِلَى اللهِ مَسَاجِدُهَا، وَأَبْغَضُ الْبِلَادِ إِلَى اللهِ أَسْوَاقُهَا
“Tempat yang paling dicintai oleh Allah adalah masjid, dan tempat yang paling dibenci Allah adalah pasar” (HR. Muslim)
Dia menjadi tukang sapu, tapi untuk tempat yang paling dicintai oleh Allah, bagaimana tidak mulia?! Tentu ini sebuah pekerjaan yang mulia dan harus dihargai.
Alamgkah indahnya, bila orang-orang yang memiliki kedudukan di masyarakat, untuk sesekali menyapu rumah Allah. Selain supaya masyarakat menjadi sadar akan wibawa masjid, sehingga mereka menjadi lebih sadar akan kehormatan masjid, juga untuk membuatnya menjadi lebih dekat dengan masyarakat dan mengikisifat-sifat angkuh dalam diri.
Sebagai tauladan dalam hal ini, seorang ulama karismatik bernama Abu Syuja’ Ahmad bin al-Husain al-Ashfahani (w 593 H). Beliau ini adalah ulama yang terpandang di kalangan kaum muslimin. Buku karyanya yang berjudul “Matan al-Ghayah wat-Taqriib” menjadi materi yang wajib untuk dipelajari, bagi yang hendak mendalami fikih mazhab Syafi’i. Jabatannya sebagai hakim (qodhi) di masanya, tidak membuatnya enggan untuk membersihkan masjid. Beliau biasa menyapu masjid Nabawi, dan menghidupkan lentera-lentera masjid bila senja tiba. Beliau pula yang merapikan tikar-tikar masjid bila hendak shalat. Pekerjaan ini senantiasa ditekuni, sampai ajal menjemputnya.
Bukti lain, yang menunjukkan bahwa amalan ini adalah amalan yang mulia, sebuah hadis yang menceritakan tentang seorang perempuan berkulit hitam, yang biasa menyapu masjid di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
َعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -فِي قِصَّةِ الْمَرْأَةِ الَّتِي كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ- قَال: فَسَأَلَ عَنْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: مَاتَتْ, فَقَالَ: “أَفَلاَ كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي”? فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا. فَقَالَ: “دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهَا”, فَدَلُّوهُ, فَصَلَّى عَلَيْهَا.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Beliau berkisah tentang seorang wanita yang biasa membersihkan masjid (di masa Nabi).
Nabi shallallahu’alaihiwasallam, menanyakan tentang kabar wanita itu, para sahabat menjawab, “Ia telah meninggal.”
” Mengapa kalian tidak mengabariku?” Tanya Nabi shallallahu’alaihiwasallam kepada sahabatnya.
Para sahabat mengira, bahwa pekerjaannya tersebut tidak terlalu terpandang.
“Tunjukkan aku makamnya” Pinta Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
Merekapun menunjukkan makam wanita tersebut, kemudian beliau mensholatkannya” (Muttafaqun ‘ alaihi).
Mulia bukan…?!
Sampai Rasulullah saja menyempatkan diri untuk menyolatkan jenazahnya, meski sudah dikuburkan. Sebuah kemuliaan bila orang termulia saja sampai menegur para sahabatnya, karena lupa mengabarkan perihal kematiannya. Saat beliau tahu bahwa perempuan tersebut telah dikuburkan, beliau sempatkan diri untuk tetap menyolati jenazahnya, meski sudah dimakamkan.
Setelah menukil hadis ini, Syaikh Abdullah bin Sholih Al-Fauzan dalam bukunya al-Fawaid al-Majmu’ah menjelaskan,
ففي هذا دليل على فضل تنظيف المسجد، لأن صلاة النبي صلى الله عليه وسلم على قبر من يكنس المسجد دليل على تعظيم عمله
“Hadis ini dalil akan utamanya pekerjaan membersihkan masjid. Karena shalatnya Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam, atas kuburan orang yang menyapu masjid tersebut, bukti bahwa perbuatan ini adalah amalan yang luhur.” (al-Fawaid al-Majmu’ah fi Syarhi Fushulil Adab wa Makaarimil Akhlaq Al-Masyruu’ah, hal. 247).
Wabillahi at taufiq.
Penulis: Ahmad Anshori